Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Fiqih Gerhana : Tata cara sholat gerhana - Kitab Akhsor MUkhtasorot

 


sholat gerhana

Bab: Salat Gerhana (Salat al-Kusuf)

Pendahuluan

Dikatakan: kasafat (dengan fathah pada huruf kāf) atau kusifat (dengan dhammah pada huruf kāf), demikian pula khasafat. Artinya adalah hilangnya cahaya matahari atau bulan, baik seluruhnya maupun sebagiannya.

Permasalahan : Gerhana matahari dan bulan memiliki dua sebab:

  1. Sebab syar‘i: yaitu sebagai bentuk peringatan dan menakut-nakuti hamba agar mereka kembali kepada Allah.
  2. Sebab kauni (alami): yaitu posisi bulan berada di antara bumi dan matahari pada gerhana matahari, dan posisi bumi berada di antara matahari dan bulan pada gerhana bulan.

Masalah Kedua: Hukum Salat Gerhana

Hukum Sholat Gerhana sunah ketika sebabnya terjadi (yaitu saat gerhana).

Dalil Tentang SHolat Gerhana :

حديث المغيرة بن شعبة رضي الله عنه قال: كَسَفَتِ الشمسُ على عهد رسول الله صلى الله عليه وسلم يوم مات إبراهيم، فقال الناس: كَسَفَتِ الشمسُ لموت إبراهيم، فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم: «إِنَّ الشَّمْسَ وَالقَمَرَ لَا يَنْكَسِفَانِ لِمَوْتِ أَحَدٍ وَلَا لِحَيَاتِهِ، فَإِذَا رَأَيْتُمْ فَصَلُّوا، وَادْعُوا الله» [البخاري: 1043]

Hadis dari Mughirah bin Syu'bah RA yang menceritakan bahwa saat gerhana matahari terjadi pada masa Rasulullah SAW, orang-orang mengira itu karena kematian putra beliau, Ibrahim. Rasulullah SAW kemudian bersabda:

"Sesungguhnya matahari dan bulan tidak gerhana karena kematian atau kehidupan seseorang. Jika kalian melihatnya, maka salatlah dan berdoalah kepada Allah." (HR. Bukhari: 1043)

Dan yang memalingkan (menunjukkan) perintah kepada istihbāb (anjuran, bukan kewajiban) adalah hadis Thalhah bin ‘Ubaydillah raḍiyallāhu ‘anhu, ketika ada seorang lelaki datang bertanya tentang Islam. Maka Rasulullah bersabda:

«خَمْسُ صَلَوَاتٍ فِي اليَوْمِ وَاللَّيْلَةِ». فَقَالَ: هَلْ عَلَيَّ غَيْرُهَا؟ قَالَ: «لَا، إِلَّا أَنْ تَطَوَّعَ» [البخاري: 46، ومسلم: 11]،

“Lima salat dalam sehari semalam.” Lelaki itu berkata: “Apakah ada kewajiban lain atasku selain itu?” Beliau menjawab: “Tidak, kecuali engkau mau melakukan salat sunnah.” [HR. al-Bukhārī no. 46, Muslim no. 11].

Dan Imam an-Nawawī menukilnya sebagai ijma’.

Pendapat lain: Abu 'Awanah, Ibnu al-Qayyim, dan Ibnu 'Utsaimin berpendapat hukumnya wajib kifayah karena adanya perintah dalam hadis. Mereka berpendapat hadis tentang "lima salat fardu" tidak termasuk salat-salat yang diwajibkan karena adanya sebab tertentu, seperti salat jenazah atau salat nazar.

Cabang Permasalahan : Disunnahkan menyerukan “Ash-shalāta jāmi‘ah” untuk salat gerhana.

Berdasarkan hadis Abdullah bin Amr raḍiyallāhu ‘anhumā, ia berkata:

«لَمَّا كَسَفَتِ الشَّمْسُ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ الله ﷺ نُودِيَ: إِنَّ الصَّلَاةَ جَامِعَةٌ». [البخاري: 1045، ومسلم: 910].

“Ketika terjadi gerhana matahari pada masa Rasulullah , diserukan: ‘Sesungguhnya salat berjamaah.’” (HR. al-Bukhārī no. 1045, Muslim no. 910).

Cabang Permasalahan : Waktu salat gerhana adalah sejak dimulainya gerhana sampai terang kembali (hilang gerhana). Hal ini berdasarkan hadis al-Mughīrah bin Syu‘bah raḍiyallāhu ‘anhu, secara marfū‘:

«فَإِذَا رَأَيْتُمُوهُمَا، فَادْعُوا الله وَصَلُّوا حَتَّى يَنْجَلِيَ». [البخاري: 1060].

“Apabila kalian melihat keduanya (matahari atau bulan), maka berdoalah kepada Allah dan salatlah sampai ia kembali terang.” (HR. al-Bukhārī no. 1060).

Jika gerhana telah selesai (terang kembali) sementara ia masih dalam salat, maka ia menyempurnakannya dengan cara yang ringan, sesuai sifat salat gerhana. Hal ini berdasarkan hadis Abū Mas‘ūd al-Anṣārī raḍiyallāhu ‘anhu, secara marfū‘:

«فَإِذَا رَأَيْتُمْ مِنْهَا شَيْئًا فَصَلُّوا، وَادْعُوا الله حَتَّى يُكْشَفَ مَا بِكُمْ». [البخاري: 1041، ومسلم: 911].

“Apabila kalian melihat sesuatu dari keduanya, maka salatlah dan berdoalah kepada Allah sampai hilang apa yang menimpa kalian.” (HR. al-Bukhārī no. 1041, Muslim no. 911).

Dan tidak boleh memutuskan salatnya; berdasarkan firman Allah Ta‘ālā:

{وَلَا تُبْطِلُوا أَعْمَالَكُمْ} [محمد: 33].

“Dan janganlah kalian batalkan amal-amal kalian.” (QS. Muḥammad: 33).

Disyariatkan untuk meringankannya, karena sebabnya telah hilang (gerhana telah selesai). Hukum itu selalu berputar bersama sebabnya (selama sebab ada, hukum berlaku; jika sebab hilang, hukum juga hilang).

Permasalahan Kedua : Tata Cara shalat gerhana adalah salat dua rakaat, dan setiap rakaat terdiri dari dua kali berdiri (qiyām) dan dua kali rukuk.

Tatacaranya adalah:

Pada rakaat pertama : setelah doa istiftah, isti‘ādzah, dan basmalah, membaca al-Fātiḥah lalu membaca surat panjang tanpa penentuan tertentu. Kemudian rukuk lama tanpa ditentukan waktunya. Setelah itu bangkit dari rukuk sambil membaca sami‘allāhu liman ḥamidah dan memuji Allah. Lalu membaca al-Fātiḥah lagi dan surat panjang yang lebih pendek dari yang pertama. Lalu rukuk lagi dengan lama, namun lebih pendek dari rukuk pertama. Setelah itu bangkit sambil membaca sami‘allāhu liman ḥamidah dan memuji Allah tanpa memanjangkannya. Lalu sujud dua kali dengan lama, dan tidak memanjangkan duduk di antara dua sujud.

Pada rakaat kedua dikerjakan seperti rakaat pertama, tetapi lebih ringan dalam setiap bacaannya dan gerakannya. Setelah itu membaca tasyahhud dan salam.
Hal ini berdasarkan hadis Ibnu ‘Abbās raḍiyallāhu ‘anhumā, ia berkata:

«انْخَسَفَتِ الشَّمْسُ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ الله ﷺ، فَصَلَّى رَسُولُ الله ﷺ، فَقَامَ قِيَاماً طَوِيلاً نَحْواً مِنْ قِرَاءَةِ سُورَةِ الْبَقَرَةِ، ثُمَّ رَكَعَ رُكُوعاً طَوِيلاً، ثُمَّ رَفَعَ، فَقَامَ قِيَاماً طَوِيلاً، وَهُوَ دُونَ الْقِيَامِ الْأَوَّلِ، ثُمَّ رَكَعَ رُكُوعاً طَوِيلاً، وَهُوَ دُونَ الرُّكُوعِ الْأَوَّلِ، ثُمَّ سَجَدَ، ثُمَّ قَامَ قِيَاماً طَوِيلاً، وَهُوَ دُونَ الْقِيَامِ الْأَوَّلِ، ثُمَّ رَكَعَ رُكُوعاً طَوِيلاً، وَهُوَ دُونَ الرُّكُوعِ الْأَوَّلِ، ثُمَّ رَفَعَ، فَقَامَ قِيَاماً طَوِيلاً وَهُوَ دُونَ الْقِيَامِ الْأَوَّلِ، ثُمَّ رَكَعَ رُكُوعاً طَوِيلاً وَهُوَ دُونَ الرُّكُوعِ الْأَوَّلِ، ثُمَّ سَجَدَ، ثُمَّ انْصَرَفَ وَقَدْ تَجَلَّتِ الشَّمْسُ». [البخاري: 1052، ومسلم: 907]

“Pernah terjadi gerhana matahari pada masa Rasulullah . Maka beliau salat, berdiri lama seperti lamanya bacaan surat al-Baqarah. Kemudian rukuk lama. Lalu berdiri kembali dengan lama, namun lebih pendek dari berdiri pertama. Kemudian rukuk lama, namun lebih pendek dari rukuk pertama. Lalu beliau sujud. Kemudian berdiri lagi dengan lama, namun lebih pendek dari berdiri pertama. Lalu rukuk lama, namun lebih pendek dari rukuk pertama. Setelah itu berdiri lagi dengan lama, namun lebih pendek dari berdiri pertama. Kemudian rukuk lama, namun lebih pendek dari rukuk pertama. Lalu beliau sujud. Setelah selesai, beliau berpaling (selesai salat), dan saat itu matahari sudah kembali terang (selesai gerhana).” (HR. al-Bukhārī no. 1052, Muslim no. 907).

Cabang Permasalahan : Tidak disunnahkan memanjangkan berdiri setelah bangkit dari rukuk kedua, juga tidak memanjangkan duduk di antara dua sujud, karena tidak ada riwayat yang menyebutkannya.
Namun ada pendapat lain: disunnahkan memanjangkan keduanya sebagaimana rukun-rukun lainnya, karena hal itu disebutkan dalam hadis Jabir raḍiyallāhu ‘anhu, di mana beliau berkata:

«فَأَطَالَ الْقِيَامَ، حَتَّى جَعَلُوا يَخِرُّونَ، ثُمَّ رَكَعَ فَأَطَالَ، ثُمَّ رَفَعَ فَأَطَالَ، ثُمَّ رَكَعَ فَأَطَالَ، ثُمَّ رَفَعَ فَأَطَالَ». [مسلم: 904].

“Beliau (Nabi ) memanjangkan berdiri hingga orang-orang hampir terjatuh, kemudian rukuk dan memanjangkannya, lalu bangkit dan memanjangkannya, lalu rukuk dan memanjangkannya, kemudian bangkit lagi dan memanjangkannya.” (HR. Muslim no. 904).

Cabang: Yang lebih utama, salat gerhana dilakukan dengan dua rukuk dalam setiap rakaat. Namun jika orang yang salat gerhana melakukannya dengan tiga rukuk, empat rukuk, atau lima rukuk dalam setiap rakaat, maka hal itu tetap sah, berdasarkan hadis Jabir raḍiyallāhu ‘anhu:

«فَصَلَّى بِالنَّاسِ سِتَّ رَكَعَاتٍ بِأَرْبَعِ سَجَدَاتٍ» [مسلم: 904]

“Beliau salat bersama manusia enam rakaat dengan empat sujud.” (HR. Muslim no. 904).

«صَلَّى رَسُولُ الله ﷺ حِينَ كَسَفَتِ الشَّمْسُ، ثَمَانَ رَكَعَاتٍ فِي أَرْبَعِ سَجَدَاتٍ» [مسلم: 908]

Juga hadis Ibnu ‘Abbās raḍiyallāhu ‘anhumā: “Rasulullah salat ketika terjadi gerhana matahari, delapan rakaat dengan empat sujud.” (HR. Muslim no. 908).

Serta riwayat dari Ubay bin Ka‘b raḍiyallāhu ‘anhu:

«فَقَرَأَ بِسُورَةٍ مِنَ الطُّوَلِ، وَرَكَعَ خَمْسَ رَكَعَاتٍ، وَسَجَدَ سَجْدَتَيْنِ، ثُمَّ قَامَ الثَّانِيَةَ، فَقَرَأَ سُورَةً مِنَ الطُّوَلِ، وَرَكَعَ خَمْسَ رَكَعَاتٍ، وَسَجَدَ سَجْدَتَيْنِ». [أبو داود: 1182].

“Beliau membaca surat dari surah-surah ṭiwāl (surat panjang), lalu rukuk lima kali dan sujud dua kali. Kemudian pada rakaat kedua beliau membaca surat dari surah-surah ṭiwāl, lalu rukuk lima kali dan sujud dua kali.” (HR. Abū Dāwūd no. 1182).

Syaikhul Islam (Ibn Taimiyah) memilih pendapat bahwa tidak boleh menambah lebih dari dua rukuk pada setiap rakaat, karena riwayat-riwayat selain itu lemah. Imam al-Syāfi‘ī, Imam Aḥmad, Imam al-Bukhārī dan yang lainnya juga lebih menguatkan riwayat dua rukuk dalam setiap rakaat dibanding riwayat lainnya. Selain itu, seluruh riwayat yang ada menunjukkan bahwa peristiwa salat gerhana terjadi ketika wafatnya Ibrāhīm bin Nabi , sehingga hal itu menunjukkan beliau hanya melaksanakannya satu kali saja. Syaikhul Islam berkata:

(وَهَذَا أَصَحُّ الرِّوَايَتَيْنِ عَنْ أَحْمَدَ، وَرُوِيَ عَنْهُ أَنَّهُ كَانَ يَجُوزُ ذَلِكَ قَبْلَ أَنْ يَتَبَيَّنَ لَهُ ضَعْفُ هَذِهِ الْأَحَادِيثِ).

“Inilah yang lebih sahih dari dua riwayat yang ada dari Imam Ahmad. Adapun riwayat lain darinya bahwa beliau membolehkan hal itu adalah sebelum jelas baginya kelemahan hadis-hadis tersebut.”

Permasalahan : Disunnahkan memanjangkan bacaan surat dalam setiap rakaat tanpa ditentukan ukurannya, berdasarkan hadis Ibnu ‘Abbās sebelumnya:

«فَقَامَ قِيَامًا طَوِيلًا نَحْوًا مِنْ قِرَاءَةِ سُورَةِ الْبَقَرَةِ».

“Beliau berdiri lama seperti lamanya bacaan surat al-Baqarah.”

Permasalahan : Disunnahkan membaca dengan suara keras (jahr) dalam salat gerhana, meskipun dilakukan pada siang hari. Ini termasuk masalah yang khusus (disebut mufradāt) dalam mazhab Hanbali. Pendapat ini dipilih oleh Syaikhul Islam, berdasarkan hadis dari Aisyah raḍiyallāhu ‘anhā:

«جَهَرَ النَّبِيُّ ﷺ فِي صَلَاةِ الْخُسُوفِ بِقِرَاءَتِهِ». [البخاري: 1065، ومسلم: 901].

“Nabi membaca dengan keras dalam salat gerhana.” (HR. al-Bukhārī no. 1065, Muslim no. 901).

Permasalahan : Disunnahkan memperbanyak dan memanjangkan bacaan tasbih dalam rukuk dan sujud, sebagaimana telah disebutkan dalam hadis sebelumnya.

Permasalahan : Disunnahkan agar rukuk pertama dari dua rukuk dalam setiap rakaat lebih panjang daripada rukuk kedua, dan hal ini sudah dijelaskan sebelumnya.

Permasalahan : Tidak disyariatkan adanya khutbah khusus untuk salat gerhana, karena Nabi hanya memerintahkan salat tanpa khutbah. Adapun khutbah yang beliau lakukan setelah salat hanyalah untuk mengajarkan hukum-hukum terkait gerhana, dan hal itu khusus bagi beliau.
Namun ada pendapat lain: boleh berkhutbah satu kali tanpa duduk, sebagaimana yang dilakukan Nabi dalam hadis-hadis sebelumnya, di mana beliau hanya berkhutbah sekali saja dan tidak disebutkan beliau berkhutbah seperti khutbah Jumat (dua khutbah).

Masalah: Tidak disyariatkan salat untuk selain gerhana dari tanda-tanda (fenomena alam), karena tidak ada riwayat dari Nabi dan para sahabatnya tentang hal itu. Padahal pada masa mereka pernah terjadi peristiwa terbelahnya bulan, hembusan angin, dan sambaran petir. Kecuali gempa bumi, maka disyariatkan salat untuknya jika terus berlangsung, karena ada riwayat dari Ibnu ‘Abbās (dalam Musannaf ‘Abd al-Razzāq no. 4929) dan dari Ali raḍiyallāhu ‘anhu (dalam Sunan al-Bayhaqī no. 6382).

Dan ada riwayat lain dari Imam Ahmad, yang dipilih oleh Syaikhul Islam, bahwa disyariatkan salat untuk setiap ayat (tanda kebesaran Allah) yang menakutkan. Hal ini berdasarkan hadis Abu Bakrah raḍiyallāhu ‘anhu secara marfū‘:

«إِنَّ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ آيَتَانِ مِنْ آيَاتِ الله، لَا يَنْكَسِفَانِ لِمَوْتِ أَحَدٍ وَلَا لِحَيَاتِهِ، وَلَكِنَّ الله تَعَالَى يُخَوِّفُ بِهَا عِبَادَهُ» [البخاري: 1048]

“Sesungguhnya matahari dan bulan adalah dua tanda di antara tanda-tanda (kekuasaan) Allah. Keduanya tidaklah mengalami gerhana karena kematian seseorang atau kehidupannya, tetapi Allah menakut-nakuti hamba-Nya dengan keduanya.” (HR. al-Bukhārī no. 1048).

Hadis ini menunjukkan bahwa setiap tanda yang mengandung peringatan dan menakutkan, disyariatkan salat untuknya. Adapun angin dan petir yang terjadi di masa Nabi bisa jadi adalah sesuatu yang biasa dan sudah dikenal (tidak menakutkan secara luar biasa).

 AKhukum ABu Abdillah 

Sumber : Dalail Wal Isyarat - kitab Akhsor ALmukhtasorot

Posting Komentar untuk "Fiqih Gerhana : Tata cara sholat gerhana - Kitab Akhsor MUkhtasorot"