Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Di antara metode istidlāl (pengambilan dalil) para fuqahā’



Di antara metode istidlāl (pengambilan dalil) para fuqahā’: Mengamalkan sebagian hadits ḍa‘īf dalam masalah hukum termasuk perkara yang diakui oleh para ulama. Begitu pula meninggalkan sebagian hadits ṣaḥīḥ karena ada dalil yang lebih kuat darinya.

Sering kita mendengar orang—karena ketidaktahuannya terhadap manhaj istidlāl—menuduh bahwa fuqahā’ berhujjah dengan hadits-hadits ḍa‘īf dan meninggalkan hadits-hadits ṣaḥīḥ. Bahkan sampai berani menuduh para imam menyelisihi hadits yang sahih. Tuduhan semacam ini lahir karena dangkalnya ilmu, dominasi kebodohan, dan keberanian lancang terhadap para ulama.

Hal itu terjadi karena banyak orang meninggalkan jalan tafaqquh atau mempelajari uṣūl al-fiqh dengan cara para ulama, yaitu meneliti manhaj istidlāl para imam. Akibatnya, mereka kehilangan pengetahuan ini dan tidak mampu memahami dengan tepat. Sebagian karena fanatisme, sebagian lagi karena faqid asy-syai’ lā yu‘ṭīhi (yang tidak punya ilmu, tidak bisa memberi penjelasan). Bahkan sering keduanya terkumpul pada mereka.

Padahal, para imam ahli hadits sejak dahulu telah menjelaskan metode istidlāl fuqahā’ dan alasan mereka mengamalkan dalil tertentu. Hal ini telah dijelaskan oleh al-Tirmiżī raḥimahullāh dan Ibn Rajab raḥimahullāh dalam Syarḥ ‘Ilal al-Tirmiżī.

Sampai-sampai al-Imām al-Tirmiżī berkata:

“Semua hadits dalam kitab ini diamalkan, dan sebagian ulama mengambilnya, kecuali dua hadits:
(1) Hadits Ibnu ‘Abbās, bahwa Nabi menggabungkan antara ẓuhr dan ‘aṣr, maghrib dan ‘isyā’ di Madinah tanpa takut dan tanpa hujan.
(2) Hadits Nabi ‘Apabila minum khamr maka cambuklah; jika mengulang pada yang keempat maka bunuhlah.’
Kami telah menjelaskan ‘illah kedua hadits ini dalam kitab.”
(Sunan al-Tirmiżī).

Contoh Pertama : 

Hadits tentang Ghailān yang masuk Islam sementara ia punya sepuluh istri di masa jahiliyyah. Abū ‘Īsā al-Tirmiżī meriwayatkannya dan berkata: “Ini diriwayatkan Ma‘mar dari az-Zuhrī dari Sālim dari ayahnya. Aku mendengar Muḥammad bin Ismā‘īl (al-Bukhārī) berkata: Hadits ini tidak mahfūẓ.”

Namun, al-Imām Aḥmad berkata: “Hadits ini tidak ṣaḥīḥ, tetapi diamalkan oleh para ulama.”

Perhatikanlah—semoga Allah merahmatimu—meskipun hadits ini lemah, para ulama yang lebih berilmu dari mereka yang menuduh sembarangan tetap mengamalkannya.

Contoh Kedua : 

Hadits tentang seseorang yang mendapati basah (mani) namun tidak ingat bermimpi. Hadits ini dilemahkan oleh al-Tirmiżī, tetapi beliau menambahkan: “Ini adalah pendapat mayoritas ulama.”

Al-Mundhirī berkata: “Aku tidak mengetahui adanya khilaf dari para ulama yang aku hafal: jika seseorang bermimpi jima‘ namun tidak mendapati basah, maka tidak wajib mandi baginya.”

Adapun tuduhan bahwa para imam meninggalkan hadits ṣaḥīḥ, maka ketahuilah: mereka hanya meninggalkan amal dengannya jika ada dalil yang lebih kuat, atau karena para ṣaḥābat sendiri tidak mengamalkan hadits itu meski sanadnya sahih.

Contohnya: 

1.     Hadits Nabi

“Barang siapa menghidupkan tanah mati, maka tanah itu miliknya.”

Menurut Abū Ḥanīfah, hadits ini dipahami sebagai taṣarruf bi al-imāmah ( wewenang  pemimpin ). Maka, ihyā’ al-mawāt (menghidupkan tanah mati) tidak boleh kecuali dengan izin imam, karena mengandung konsekuensi kepemilikan, sebagaimana tanah yang dibagikan imam.

2.     Demikian pula hadits: 

“Barang siapa membunuh musuh, maka baginya adalah harta rampasan pribadinya (salab).”

Al-Imām Mālik menafsirkannya juga sebagai taṣarruf bi al-imāmah, karena Nabi sebagai panglima perang. Maka, tidak boleh seorang prajurit mengambil harta rampasan kecuali dengan izin imam.

3.     Demikian pula, Imam Mālik tidak berpendapat bahwa anjing najis, karena bertentangan dengan firman Allah:

 “Makanlah apa yang ditangkap untuk kalian (oleh anjing buruan).” (QS. al-Mā’idah: 4).

Imam Mālik berkata: “Jika buruan anjing halal dimakan, bagaimana mungkin air liurnya dihukumi najis.”

Contoh-contoh seperti ini sangat banyak dan tidak mungkin dihitung. Karena itu, kenalilah kadar ilmumu, jangan melampauinya. Sebanyak apa pun mereka menyampaikan narasi dan gambarannya, engkau tidak lebih dari sehelai jerami jika dibandingkan dengan gunung-gunung ilmu mereka.

✍️ Fāris bin Fāliḥ al-Khazrajī

 


Posting Komentar untuk "Di antara metode istidlāl (pengambilan dalil) para fuqahā’"